![]() | |||
sumber: pixabay.com |
Nelson Mandela, seorang tokoh pimimpin dari Afrika Selatan pernah berkata bahwa, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” atau, bila diterjemahkan mempunyai arti "Pendidikan adalah senjata paling kuat yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia". Dengan demikian, hanya dengan sebuah pendidikan, dunia dapat berubah. Dunia yang semula gelap, tanpa cahaya penerangan dari pengetahuan dapat sirna hanya dengan sinar benderang dari pengetahuan. Seperti itulah kira-kira dunia perempuan Indonesia pada masa sebelum pertengahan tahun 1800-an, perempuan hanya mengetehui bagaimana itu memasak dan mengurus anak dari rumah.
Memaknai
Emansipasi Sebagai Estafet “Tongkat Kerja Keras”
Menghitung
mundur dua abad silam, lahirlah The Greatest Hero dari sebuah kota kecil
di Jawa Tengah, yaitu Jepara. Beliau adalah Raden Ajeng (R.A.) Kartini, simbol
kemerdekaan perempuan. Wanita pertama di Indonesia yang mampu berteriak dalam
kesunyian dan kungkungan derajat sosial. Wanita pemberani yang mewakili suara
hati sekaligus pemikiran dari segelitir perempuan yang memikirkan golongan
feminis untuk keluar dari belenggu kegelapan yang kian mundur. Beliau
telah menciptakan sebuah “emansipasi” untuk perempuan tanah air agar dapat
mengenal yang namanya “pendidikan”.
Bergeser ke
wilayah Jawa bagian barat, ada seorang pendidik dari tanah Priangan, Nyi Raden
Dewi Sartika. Wanita dengan cahaya pengetahuan terpancar dari wajahnya. Sebagai
guru, beliau telah memberikan transformasi dunia perempuan yang sebelumnya
“rabun” literasi menjadi cakap mengeja huruf hingga menyuarakan pemikiran.
Beliau sadar, perempuan medioker yang masih terpasung akan budaya dan adat
untuk sekedar menjadi perempuan rumahan harus diperkenalkan oleh pendidikan.
Tentunya,
pemikiran-pemikiran tersebut harus lahir melalui lorong waktu yang silih
berganti. Lahir oleh orang yang tepat agar dapat dieksekusi dengan baik
sehingga mengantarkan perempuan Indonesia pada gerbang dunia pendidikan. Tidak
mudah bagi dua tokoh perempuan nasional kita untuk memperjuangkan hak perempuan
untuk dapat menimba ilmu melalui pendidikan dengan hadangan kolonial. Tetapi,
semangat emansipasi membara seakan membakar diri pada beliau berdua.
Maka,
menghitung maju dua abad ke depan, kita adalah generasi terpilih untuk dapat
melanjutkan tongkat estafet “emansipasi”, yaitu warisan perjuangan hak-hak
perempuan minimal diimplikasikan dengan bentuk memanfaatkan kesempatan meraih
pendidikan setinggi mungkin dan menularkan semangat tersebut kepada
perempuan-perempuan Indonesia lainnya.
Kelak, Jangan
Terjebak “Comfort Zone” Pernikahan
Memiliki angka
rata-rata usia yang cukup muda, Indonesia memiliki budaya “menikah muda” atau
“menikah sesegera mungkin”. Meskipun kini tampak sebagian penduduk mulai
kontra, namun realita masih terjadi. Penetapan batas usia menikah yaitu 18
tahun dalam UU (Undang-undang) Perlindungan Anak, ironisnya masih dijumpai pada
berbagai headline media tanah air mengenai peristiwa pernikahan di bawah
umur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masih banyak perempuan
Indonesia yang putus sekolah untuk menikah.
![]() |
Sumber: pixabay.com |
Pernyataan
tersebut didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sebanyak 94,72
persen anak menikah dini. Merujuk kemudian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (PPA) Yohana Yambise pada tahun 2018 mengatakan, "Sebesar 94,72 persen perempuan usia
20-24 tahun berstatus pernah kawin di bawah saat usia di bawah 18 tahun dan
tidak bersekolah lagi. Sementara yang melanjutkan sekolah hanya berkisar 5,28
persen,". Bayangkan, berapa banyak perempuan yang belum
merasakan emansipasi yang telah diperjuangkan oleh pahlawan kita apabila
pernikahan itu dilakukan secara paksa oleh pihak lain. Atau, sebagian dari
mereka memilih enggan memaknai emansipasi akibat kemauan mereka sendiri.
Kendati
demikian, menikah adalah sebuah tujuan mulia yang dapat dilaksankaan oleh dua
sejoli yang telah memiliki kepercayaan dan rasa kasih sayang untuk dapat membentuk
sebuah keluarga. Namun, alangkah baiknya pernikahan dilaksanakan apabila
dilandasi dengan angka usia yang sesuai dan bekal pengetahuan yang memadai.
Terlebih, bagi seorang perempuan, melahirkan generasi cerdas bukan semata
berkah dari Tuhan, melainkan ada campur tangan peran dari seorang perempuan
yang bergantung pada pengetahuan yang dimilikinya.
Pun, ketika
telah memasuki dunia pernikahan, perempuan dapat “terjebak” pada kenyamanan akibat dari peran istri yang cukup menerima nafkah dari
kepala keluarga. Rasa “terjebak” itu ialah tidak ada lagi motivasi untuk
menggali potensi diri atau mengimplikasikan estafet emansipasi perempuan, yaitu
pendidikan dalam bentuk kontribusi terhadap lingkungan sekitar.
Kartini Masa
Depan, Tak Ragu Mengembangkan Potensi Diri
Sudah
ditakdirkan, bahwa kita adalah perempuan pemegang warisan estafet emansipasi
perempuan selanjutnya. Kita telah merasakan atmosfer dimana kebebasan untuk
mendapatkan gelar sarjana tak lagi susah. Kita telah hidup pada tanah dimana
tempat belajar mudah terjamah. Kita telah berada pada fase dimana pendidikan
dan perempuan telah saling bertemu dan beramah-tamah. Adakah yang perlu
disanggah? Semua berakar dari satu, pendidikan dan disertai kemauan untuk
mengembangkan diri.
Kini, tidak ada
lagi keraguan untuk tidak menggali pontensi dalam diri, salah satunya adalah
mengikuti bimbingan belajar atau kursus. Terutama perempuan di tengah kota
metropolitan, dapat dengan mudah menikmati akses pendidikan semi formal seperti
kursus, dengan lokasi terjangkau dan aman. Dengan adanya akses pendidikan yang
mudah dan aman, anak-anak dan perempuan tidak perlu khawatir, terlebih bila
dalam satu tempat sudah menyediakan beraneka ragam jenis kursus yang sesuai
dengan potensi diri.
![]() |
Sumber: educenter.id |
Ialah EduCenter, sebuah gedung berkonsep Mal Edukasi
yang menyediakan berbagai lembaga kursus dalam satu komplek pertama di
Indonesia, kini dapat dinikmati oleh masyarakat Tangerang dan sekitarnya. EduCenter terletak di Jalan Sekolah Foresta
Nomor 8, BSD City, Tangerang. Nilai plus dari lokasi EduCenter yang dikelilingi oleh 45 institusi
pendidikan, sehingga bila sebagian dari Anda ingin bergegas menuju tempat
kursus di EduCenter setelah
pendidikan formal, tidak perlu pulang ke rumah.
EduCenter mengusung konsep “One Stop Excellence Of Education. EduCenter menyediakan berbagai macam tenant
kursus untuk anak , remaja hingga dewasa. Mulai dari jenis Pre School, Balet
dan Menari, Bahasa, Seni dan Musik, Matematika dan Sains hingga Akademi
Penerbangan. Berbagai sarana pendukung seperti restoran, food court,
taman bermainpun tersedia. Belajar nyaman, potensi kian berkembang.
Mari
mengimplikasikan pemikiran Raden Ajeng Kartini dan Nyi Raden Dewi Sartika
dengan terus mengasah kemampuan dan potensi pada diri sendiri, menebar semangat
meraih pendidikan tinggi dan berkontribusi pada masyarakat luas. Selama
perempuan bersentajakan pengetahuan berpijak, disitulah nyala api emansipasi terus bergerak. Dan, negeri
ini tidak akan pernah kehabisan generasi cerdas nan aktif bersorak.
#Educenterid
#HariPendidikan
#HariKartini
#Perempuan
Referensi :